sang-detectif-pengembara.com. Diberdayakan oleh Blogger.

Wikipedia

Hasil penelusuran

Language

About Me

Popular Posts

Callender

Sabtu, 01 Juni 2013

Kasus UU ITE

by Unknown  |  in Teknik Komputer Jaringan at  22.55



1. Kasus Basuki T.Purnama
  Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki T.Purnama alias Ahok merasa prihatin atas penetapan advokat Farhat Abbas sebagai tersangka kasus pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Farhat menjadi tersangka akibat kicauan berbau rasis di jejaring sosial Twitter yang ditujukan kepada Ahok.
“Nggak tahu aku, tapi kasihanlah ya,” kata Ahok saat ditemui di Balai Kota, Jumat (24/5). Ahok mengatakan bahwa ia  tidak pernah menuntut Farhat atas kicauan rasis yang menyinggung pendamping Jokowi itu. Bahkan, politisi Partai Gerindra itu juga mengaku sudah tidak mempermasalahkan kicauan Farhat. Namun demikian Ahok tetap menyerahkan sepenuhnya proses hukum Farhat ke Polda Metro Jaya. “Itu urusan polisi lah,” ujarnya.
Saat ini Farhat diketahui menjadi calon legislatif dari Partai Demokrat. Dengan statusnya sebagai tersangka, pencalonan suami penyanyi senior Nia Daniaty tersebut pun terancam gugur.
Menanggapi hal ini, Ahok pun lagi-lagi hanya merasa prihatin. Namun, sambil berkelakar, ia lega karena Farhat bukanlah caleg dari partainya. “Kirain Gerindra. Kalau Gerindra sayang dong,” imbuhnya.
Farhat ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Ia dilaporkan ke polisi oleh Ketua Komunitas Intelektual Muda Betawi (KIMB) Ramdan Alamsyah, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) H. Anton Medan, Ketua Masyarakat Muslim Tionghoa Indonesia (MUTI) M. Jusuf Hamka.(dil/jpnn)

2. Kasus dr. Ira
 Jakarta – Masyarakat Indonesia masih terngiang drama keadilan Prita Mulyasari. Hal ini terulang dalam email curhat dr Ira Simatupang tentang perilaku atasannya. Dokter yang pernah bertugas di RUSD Tangerang ini pun mengejar keadilan ke Mahkamah Agung (MA).
“Tindakan pemohon kasasi dilakukan dalam kondisi di luar kesadaran serta dalam kondisi tekanan mental yang sangat besar akibat berlarut serta bertubi-tubinya permasalahan yang dialami,” kata kuasa hukum dr Ira, Slamet Yuwono saat berbincang dengan detikcom, Senin (18/3/2013).
Permasalahan yang dia alamai dia tumpahkan dalam email yang dia kirim periode 23 April hingga September 2010. Emailnya berisi curhat apa yang dialami di kantornya, terutama perilaku tak senonoh atasannya. Email ini membuat orang yang digunjing merasa tidak nyaman dan mempolisikan hal tersebut.
Pada 17 Juli 2012, PN Tangerang menghukum dr Ira pidana percobaan selama 10 bulan. Jika dalam waktu itu dia mengulangi lagi perbuaatannya maka langsung masuk penjara selama 5 bulan.
Putusan ini dikuatkan dan hukumannya diperberat oleh Pengadilan Tinggi (PT) Banten pada 29 November 2012. dr Ira malah divonis menjadi hukuman percobaan 2 tahun. Jika dalam waktu itu dia mengulangi lagi maka akan langsung dipenjara selama 8 bulan.
Merasa banyak kejanggalan, dr Ira pun mengejar keadilan lewat kasasi ke MA. “Atas Putusan Pengadilan Tinggi Banten No 151/Pid/2012/PT.BTN tersebut dr Ira Simatupang melalui kuasa hukumnya, OC Kaligis pada 17 Januari 2013 telah menyatakan kasasi sekaligus mengajukan memori kasasi melalui Pengadilan Negeri Tangerang,” cetus Slamet.
Kasus ini mengingatkan masyarakat atas apa yang dialami oleh Prita Mulyasari. Meski akhirnya Prita dibebaskan di tingkat Peninjauan Kembalil (PK) MA, namun Prita sempat merasakan dinginnya penjara karena email curhat yang dia sebar soal keluhan layanan rumah sakit.
“Harapan kami MA bisa memeriksa secara obyektif perkara ini karena lagi-lagi terkait Pasal tentang UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di mana pemeriksaannya harus bener-benar ditangani oleh hakim agung yang mengetahui dan ahli tentang UU ITE,” pungkas alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang ini.
sumber: http://news.detik.com/read/2013/03/18/075256/2196350/10/prita-jilid-ii-dokter-ira-mengejar-keadilan-ke-ma

3. Kasus Mirza Alfath
 Jakarta – Apa yang dialami Mirza Alfath, dosen hukum di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe Aceh yang diamankan aparat karena komentarnya di Facebook, adalah bagian dari ancaman kebebasan berekspresi di Internet.
Mirza ditangkap Selasa malam (20/11/2012) karena dianggap melecehkan syariat Islam melalui halaman Facebooknya yang bernama Mirzanivic Alfathenev. Ia mengkritik pelaksanaan Hukum Syariah di Aceh yang mayoritas penduduknya Muslim itu. Menurut pemberitaan media lokal setempat, rumah Mirza sempat menjadi sasaran amuk massa dengan dilempari batu. Demi keselamatannya Mirza kini diamankan pihak polisi.
Kasus ini terangkat lantaran desakan massa, terutama sejak aktivis bernama Teuku Zulkhairi mengirimkan surat pembaca ke harian Serambi Indonesia yang berjudul “Akun Facebook ‘Mirza Alfath’ Menghina Islam”. Di dalam artikel tersebut ia memuat beberapa fakta bahwa Mirza sudah sering melakukan penghinaan terhadap agama Islam.
Menanggapi kasus tersebut, aktivis Wahyudi Jafar dari Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) menilai bahwa kritikan Mirza sebenarnya tidak masalah karena bahasanya tidak menyudutkan seseorang, tokoh agama atau anutan agama tertentu.
“Dia hanya memberikan kritik terhadap kebijakan, tapi kembali lagi, mungkin standar di Aceh berbeda. Moral publik tergantung dari masyarakat lokal,” tuturnya ketika dihubungi Liputan6.com, Jumat (23/11/2012).
Dalam Article 19 tentang hak-hak sipil dan politik, lanjut Wahyudi, itu dijelaskan bahwa yang menjadi batasan adalah moral publik. “Perlu dilihat lagi apakah ia terkena UU ITE atau KUHP. Biasanya dari kasus-kasus yang ada, itu dikenakan atas tuduhan syiar kebencian”, jelasnya lagi.
Di satu sisi kebebasan berekspresi itu dilindungi, di sisi lain Mirza juga terancam jika dianggap melakukan syiar yang meresahkan. Menurut Wahyudi, ada beberapa ancaman terhadap kebebasan berekspresi di internet, salah satunya adalah ancaman kriminalisasi.
“Ada esensi yang terkait dengan agama, ada perlindungan-pelindungan di sana. Mirza sah-sah saja membuat komentar di Facebook. Tapi kan ada self-sensorhip, apakah komentar itu akan membuat permasalahan di publik atau tidak”, terangnya.
Sampai berita ini diturunkan, Mirza memang belum dikenakan pasal apapun. Ia hanya dituntut untuk minta maaf lewat media massa dan tidak mengulangi perbuatannya.
Berikut ini adalah salah satu tulisan Mirza di Facebook, yang diposting pada tanggal 3 Juli 2012:
“Hukum Syariah jelas banyak sekali kelemahan dan kekurangan, ia sudah tidak layak lagi dipertahankan bagi manusia modern dan masyarakat maju. Hukum syariah hanya cocok pada jamannya ketika manusia masih minim ilmu pengetahuan.
Salah satu kelemahan syariah Islam adalah bahwa hukum-hukumnya tidak pernah memperkenankan ‘bukti-bukti lapangan’ dan ilmu pengetahuan dalam mengambil keputusan hukum, ia hanya bersandar pada saksi-saki yang ter-reputasi, misalnya dalam kasus pemerkosaan, “korban harus membawa 4 orang saksi yang melihat langsung untuk menjatuhi hukuman kpd tersangka “.
Sementara dalam kasus perzinahan, perempuan hamil cukup dijadikan bukti perzinahan telah terjadi untuk di rajam (meskipun hukum rajam sendiri tidak diatur dalam Al-Quran). Adakah keadilan dalam hukum Allah yang katanya Maha Adil itu?”



0 komentar:

Proudly Powered by Blogger.